Selasa, 17 Mei 2011

Beranda Cinta Yang Diam

  Akhirnya sampai juga di sebuah villa di Pucak Maros. Tujuan kami di tempat ini untuk acara perpisahaan aku dan teman-teman PPL dengan guru-guru pembimbingku, sekalian refreshing. Karna sebentar lagi kami akan meninggalkan lokasi atau sekolah dasar tempat kami melaksanakan Praktek Lapangan.

            Malam ini kuharap akan menjadi malam yang paling berkesan. Aku ingin meninggalkan kenangan terindah di tempat ini. Dan menuliskan sajak cintaku untuk seseorang yang kukenal di lokasi PPL (pelaksanaan praktek lapangan). Tapi entahlah, kurasa sangat sulit tuk kutafsirkan perasaannya padaku.

            Ada suatu waktu tepatnya di parkiran villa, aku dan salah seorang guruku bercerita panjang lebar tentang sebuah cinta. Lelaki yang masih lajang dan senang memakai jaket itu biasa kupanggil Pak Albir.  Ia bercerita tentang perasaan cintanya kepada salah seorang ibu guru yang biasa di panggil Ibu Nia. Ia sangat mencintai ibu nia meski ia tlah mempunyai kekasih.

Aku kemudian menanyakan “kenapa bapak tidak mundur saja atau mencari perempuan lain yang bisa mencintai bapak dengan tulus ?”.

            “Itulah yang susah buatku. Aku sayang dengan ibu nia. Apa lagi aku sudah di kenal oleh keluarganya. Walau dia tlah memiliki kekasih tapi aku masih ingin menjaganya. Aku tak ingin ia mendapatkan lelaki yang tak beriman. Apalagi lelaki yang hanya menjerumuskannya ke hal-hal yang negatif.” Jawabnya dengan keseriusan yang sangat nampak.

            Lelaki yang sudah umur 44 tahun itu juga mengaku pernah berkali-kali punya niat untuk melamar ibu nia tapi lagi lagi ibu nia menggantung jawaban dan perasaannya. Ibu Nia belum bisa menetapkan perasaannya kepada pak albir. Tapi ia masih menunggu ibu nia memberikan tempat yang terakhir di hatinya. Sungguh cinta memang gila. Hanya satu pesanku kepada pak albir sebelum pembicaraanku tentang cinta berakhir, ”Cinta tak harus memiliki namun jika sudah terlalu dalam di hati maka biarlah waktu yang menentukan segalanya.

            Kini tinggal aku sendiri di teras villa. Menikmati malam yang sunyi dengan memandang bintang. Sambil berhayal bisa menulis satu nama pada dinding langit. Hmm cinta memang gila … Lewat kegelapan tak hentinya aku memandang beranda di dekat villa. Di sana ada rafi sedang nongkrong dengan teman-teman cowok lainnya. Hmm apa perasaannya sama dengan apa yang kurasakan ? Rafi… Rafi… kenapa sih aku harus jatuh cinta dengan cowok yang sejaim dan susah di tebak seperti kamu. Lebih baik aku mencintaimu dalam hati saja kalau begini.

            Masih memandang beranda yang gelap itu. Tiba-tiba tanganku di tarik dari belakang. Teman-temanku mengajakku ke beranda itu. Di sana aku hanya diam, sesekali aku mencuri waktu untuk memandangnya. Aku tak tau mesti ngapain. Kupasang saja headset di telingaku. Aku mendengarkan musik sendiri sedangkan teman-temanku yang lain sibuk bercanda tawa. Entahlah apa yang mereka perbincangkan.

            Setelah sekian menit aku hanya asyik mendengarkan musik, tiba-tiba meraka membuat satu permainan “jujur berani”. Ketika tiba giliranku , satu pertanyaan pun terlontar dari telingaku. Pertanyaannya “apa kamu suka dengan Rafi ?”.
            Seketika wajahku memerah. Aku pun memberi banyak alasan, berusaha tuk keluar dari permainan ini. Tak mungkin aku mengatakan. Aku kemudian meninggalkan beranda itu dengan tak menjawab pertanyaan mereka. Setelah sejam aku menikmati suasana villa, teman-temanku ngajak ke beranda itu lagi. Sebenarnya aku sudah malu ke tempat itu. Entar di kirain aku agresif atau sok cari-cari perhatian untuk dekat dengan dia. Tapi temanku memaksa jadi aku ikut saja dengan mereka.

            Di beranda itu pula aku hanya diam sambil menikmati canda gurau mereka. Ternyata tidak lama kemudian ia melanjutkan lagi permainan “Jujur Berani” itu. Dan aku masih belum menjawab pertanyaan yang sama dari mereka. Meski Rafi sudah terlebih dahulu mengetahui jawabannya dari salah seorang teman akrabku. Permainan ini sungguh ingin mempermalukanku. Sudahlah biarkan pertanyaan itu berlalu bersama malam, kecuali dia yang duluan mengatakan perasaannya padaku.

             Biarlah beranda ini yang menyimpan jawabanku dan jawaban dari hatinya. Sikapnya sudah cukup memberikanku satu petunjuk tuk berhenti berharap. Walaupun begitu  tapi jujur aku masih ingin menikmati malam di beranda yang diam ini. Tapi sudah larut malam, mataku juga telah lelah dan ngantuk.

                                                                                             ***

            Keesokan hari, di pagi yang masih berembun, aku mencari sosok itu sambil menikmati sejuknya di villa ini. Aku menemukannya sedang duduk di teras sambil menikmati kopi. Kicauan burung dan mentari pun takkan sanggup mengalihkan pandanganku darinya. Akupun berusaha tuk menapiknya. Tak ingin lama menikmati pemandangan yang tepat di hadapanku ini. Takut jika kelak aku terjatuh kejurang rasa yang sangat dalam ketika tak bisa menggapainya. Karena harap bukanlah tinta yang selalu bisa terukir di atas lembaran-lembaran kertas kehidupan

Ketika sore telah menyapa gunung dan pepohonan yang asri, saat itu pula bersama gerimis kami beranjak meninggalkan villa dan Pucak Maros. Tapi aku yang saat itu di bonceng guruku terlebih dahulu meninggalkan rombongan.

                                                                                             ***

            Sejak pulang dari Pucak Maros, aku jarang lagi melihat rupanya di sekolah tempat PPL. Ada kabar yang tersiar dari salah seorang teman bahwa persoalan akademiknya di kampus yang mengancamnya cuti kuliah begitu menguras tenaga dan pikiran sehingga dia jatuh sakit. Gejala tipes merengguk waktuku di saat-saat akan jarang melihat sketsa wajahnya lagi.
            Esok adalah hari perpisahan mahasiswa PPL dengan sekolah. Malamnya segala macam kegiatan dan mendekor ruangan tengah dipersiapkan. “harusnya Rafi ada di sini”, kataku dalam hati sambil menempel gambar bintang pada dinding-dinding panggung. Sungguh tak semangat rasanya.
            Stengah jam kemudian aku dan temanku nunu’ pergi mengambil baju bodo (pakaian adat Bugis-Makassar) yang letaknya tidak jauh dari kampus. Di tengah perjalanan handpone nunu’ berdering. Aku tak tau dari siapa dan apa yang mereka bicarakan. Tapi yang sempat aku dengar nunu’ berkata “tunggu, 5 menit lagi aku ke sana”.

            “dari siapa Nu’ ? tanyaku dengan penasaran.
            “dari sepupunya Rafi. Katanya Rafi mau diantar ke puskesmas terdekat karna demamnya sangat tinggi.” Tutur nunu’ yang beranjak menuju parkiran motor.
            “jadi kita sekarang kesana ?” tanyaku.
            “(lama berpikir) tunggu saja aku di kampus. Aku akan mengambilmu kembali setelah aku telah mengantar rafi ke puskesmas.” Pintanya.
            “tapi kenapa aku tak ikut saja ke kost Rafi ?”
            “mmm … baiklah. Tapi kumohon, persiapkan dirimu dan jangan terlalu kentara bahwa kau menyukainya. Bisa ?”
            “mmm … oke. Tapi kenapa ?” tanyaku kepada Nunu’ dan diam sebagai jawabannya.

            Ada rasa lain yang berdebar di hatiku ketika telah sampai di teras rumahnya.  Tanpa berlama-lama nunu’ segera memasuki kamar kostnya. Rencana aku takkan masuk. Makanya aku hanya berdiri dan bersandar pada dinding kamar kost Rafi. Sesekali aku mendengar perbincangan Nunu’ dan Rafi. Dalam hati aku berkata, “kenapa aku bisa ada di tempat ini ?”.

            “Kenapa diluar ? ayo masuk !! … ”.
            Suara itu mengagetkanku yang tengah terlamun merekam suara Rafi dalam imajinasi. Suara itu muncul dari belakangku. Aku pun menoleh.
            “Iya kak, aku di sini saja. Makasih.” Jawabku pada perempuan yang berjilbab sampai pinggang itu.
            “ayo masuk”, Paksaanya.
            Akupun masuk dan hanya duduk diam pada kursi yang berada tepat di samping tirai kain berwarna ungu sebagai dinding pemisah antara ruang tamu dan tempat tidur Rafi. Dalam hati tak hentinya aku menanyakan siapa perempuan itu. Dari tadi dia sangat sibuk merawat Rafi. Bahkan sampai memarahi nunu’ kalau Rafi datang di acara perpisahan sekolah besok. Ah, mungkin saja dia saudaranya.

            Walau tak bertemu wajahnya di balik tirai ungu itu, tapi aku sempat megucapkan beberapa kalimat untuknya. “Rafi, aku pulang. Met istirahat n smoga cepat sembuh”. Kataku dengan detakkan jantung yang sulit kukendalikan.

            “trimakasih” ucapan terakhirnya yang begitu lembut terdengar dan menggema dalam ingatanku.

Di atas motor, aku kembali menanyakan perempuan itu kepada nunu’. Ternyata dia pacar Rafi sekaligus sepupunya. Anak dari pemilik rumah yang di tinggali Rafi. Sebab itulah nunu’  tadi sempat tak mau mengajakku ikut kerumah Rafi. Nunu’ tau betul bagaimana perasaanku. Dia hanya tak ingin aku kecewa. Dan aku kembali mengatakan “nunu’, cinta tak selamanya memiliki. Sejak pertama bertemu, aku hanya mencintainya dalam diamku. Aku hanya ingin menikmati senyum dan bahagianya. Maka sakit dan kenyataan itupun harus kunikmati dalam diamku pula. Walau dia tlah punya kekasih, aku tetap mencintainya dalam diamku.”

Dalam perjalanan yang tidak jauh dari rumah Rafi.
Nu’, Hentikan motornya. Itu pohon papaya kan ? tanyaku kepada nunu.
“iya, itu pohon papaya”.
Aku pun segera turun dari motor dan mencari pemilik pohon itu.
“pak, boleh aku minta daun papaya yang ada di dekat rawa-rawa itu ? 5 lembar saja” pintaku dengan memohon.
”iya silahkan. Ambil saja tapi hati-hati karena di situ banyak pecahan beling kaca”
“iya, makasih pak”.

Aku dan nunu’ kembali ke kost Rafi. Rebusan daun papaya bisa menurunkan demam dan mengurangi gejala-gejala tipes. Hanya nunu’ yang masuk memberikan daun papaya itu kepada perempuan yang ada dalam kamar Rafi. Sedangkan aku hanya menunggu di motor.

“kekasih dalam hatiku, Smoga kamu cepat sembuh”.
                                                                                             ***
            Aku tak menyangka dia datang di acara perpisahan. Semangatku kembali merona. Meski dia masih terlihat pucat. Setelah hari ini mungkin akan ada banyak rindu di tiap harinya yang kan mempermainkanku. Aku mencintaimu dalam diamku. Walau cinta kali ini tak berpihak pada kita tapi terima kasih tlah menjadi inspirasiku.

Melodi Cinta Violin

  16 Mei 2011 jam 22:19
Karya : Andhika Fajar



Alunan melodi yang sangat indah. Aku menoleh disetiap sudut ruangan, di sela taman-taman yang dedauannnya  sudah makin lebat. Dengan harap menemukan sumber suara itu. Kucari dan terus kucari dengan langkah yang sendu. Aku merasakan adanya makna kesedihan. Aku tau siapa yang memainkan alunkan melodi tersebut.

Tampak dari kejauhan, kulihat ia sedang menyendiri di sudut kesunyian. Namanya Alan, kakak seniorku di kampus UMM. Sekaligus juniorku di lembaga seni IPASS. Ia memainkan biolanya seakan penuh amarah. Aku tak mendekatinya. Aku hanya mengamati senyumnya yang mulai padam. Sejak aku mengatakan, “maaf, aku tak bisa mencintaimu”.

Sejak saat itu hanya ada wajah-wajah sunyi di harinya. Meski dulu kami sempat menjadi sepasang merpati yang terbang mencari singgahsana terindah. Namun aku terpenjara oleh bayang kekasih masa lalu yang masih menghantuiku dan satu nama yang masih terukir dalam memoriku.  Aku terpaksa harus mengakhiri kebahagiaannya. Aku tak ingin tumbuh dan hidup diantara kegersangan yang masih membayangkan sejuknya kenangan.

Aku sadar aku memang jahat. Datang dikehidupannya lalu pergi dengan egoisnya. Semula aku mengira dengan semua kepribadiannya yang begitu baik, aku bisa belajar mencintainya dan bisa melupakan dia yang telah membuangku disudut-sudut malam.

Ternyata tak semudah itu. 6 bulan aku belajar dengan tulus mencintainya tapi terasa sangat sulit. Aku juga tak mau membohongi perasaanku dan perasaannya. Bahwa yang ada di hatiku bukanlah dia tapi orang lain.

“Puas ?... sudah puas menyakiti hatinya ?  Tanya itu muncul dari belakangku. Akupun menoleh. Ternyata dia salah satu seniorku di IPASS (Ikatan Pemerhati Seni dan Sastra). Aku hanya sering memanggil dia dengan sebutan Daeng, dalam bahasa Makassar berarti kakak. Akupun balik bertanya, “maksudnya ?.”

“Violin, daeng bertanya sama kamu. puas kan menyakitinya ? habis manis sepah dibuang. Katanya sambil duduk di pinggiran taman.”

Aku benar-benar tidak tau maksud daeng ! tanyaku dengan duduk disampingnya.

“Oh ternyata kamu dekati dia hanya ingin di ajar main biola. Mencampakkan dia, apa itu  balasanmu ? Setelah kamu diajari sampai pintar main biola lantas kamu memutuskan hubungan dengan dia ?.”

Daeng bukan orang pertama yang mengatakan seperti itu. ehmmm… (menghembuskan nafasku dalam-dalam) Astagfirullah…kenapa sampai orang-orang berpikiran seperti itu termasuk daeng ?  tak ada sedikitpun niatku untuk seperti itu. Aku mulai serius belajar main biola setelah aku putus. Daeng, Aku berani bersumpah kalau aku dekat dengan alan bukan karena biola. Terserah daeng mau berpikir tentang apa, yang jelas pernyataan daeng dan teman-teman itu sangat salah.
Aku kemudian berlari meninggalkan taman itu dengan perasaan berkecamuk. Dari kecil aku memang selalu bermimpi untuk memainkan alat musik biola, tiap malam aku bermimpi menyentuh biola tapi aku tak mungkin mengunakan cara seperti ini, apalagi dengan  menyakiti seseorang.

Senja kini kembali kepeluk malam. Namun aku masih ingin membelah malam-malam di pinggir jalan aspal jalan raya. Berjalan seperti tanpa arah. Langkah itu terasa sangat kosong, entahlah. Pikiranku melayang entah kemana arahnya. Lampu-lampu kota yang menetapkan jejaknya, klakson kendaraan begitu bising di telinga, asap kenalpot yang merugikan, aku muak… (teriak), aku muak, aku muak dengan semua ini.

* * *

            Tut…tut…tut…
            Assalaamu alaikum…dengan alan yah ?
            “iya, ini dengan alan. Ada apa Lin ?”
            boleh minta tolong gak ? 3 hari lagi aku mau tampil main biola di miladnya SKETSA. Aku mau pinjam biola IPASS. Boleh tidak ?. Tanyaku.
            “ohh, sebenarnya besok biola dipakai mentas di Takalar Gowa. Tapi besok aku pinjamin biolanya Karin untuk kamu pake latihan dulu. Pulang dari Takalar baru aku kasih biolanya Ipass.”
            Atau aku saja yang pergi pinjam ke Karin, kalau perlu aku sewa deh biolanya?. Tanyaku.
            “aku saja besok yang datang pinjam. Pagi-pagi tunggu saja  didepan perpust kampus.”
            Oh, yah udah. Terserah deh. Kak, makasih yah.

* * *

            Esok aku akan tampil dipementasan yang tidak hanya ditonton mahasiswa UMM tapi  tamu-tamu dari kampus Universitas lain sekitar kota Makassar juga bakal hadir. Deg-degkan sih, tapi ini bukan yang pertama kalinya aku tampil.

            Sambil menggendong tas biola, aku menuju tempat latihan. Namun sebelumnya aku pemanasan dulu biar tidak terlalu tegang.

            “Ulfa, boleh minta tolong tidak ? tuk jagain biola ini sampai aku selesai olahtubuh ? please, soalnya disini tidak ada siapa-siapa yang bisa dimintai tolong selain kamu.”
            “Yah udah, sini biolanya !.” Kata ulfa.
            Jagain yah ? pintaku
            “Iya…”.

            Belum selesai olahtubuh, aku dihentikan oleh sebuah kejadian yang tak pernah kusangka sebelumnya. Teman yang sudah kuanggap sebagai saudaraku di Ipass sekaligus pacar Karin membawa biola itu pergi tanpa sepengetahuanku terlebih dahulu, setidaknya ia menemui aku sebelumnya karena aku juga ada ditempat. Mengingat kalau besok aku sudah tampil dan aku belum pernah latihan. emosiku seketika  membludak, meluap tak tertahankan. Apalagi menatap perlakuan pacar Karin yang sama skali tidak menghargaiku.

Aku kemudian mengirimkan pesan singkat dari handphone. Dan kami bertengkar hebat didalam SMS itu. Aku akui kalau pernyataanku dalam SMS itu terdengar kasar, tapi itu adalah sebuah kenyataan pahit yang bercampur dengan luapan emosi. Aku sama skali tidak dihargai. Padahal aku hanya ingin tau dimana letak kesalahanku. Mengapa biola itu dibawanya lari.

                                                                 ((((((((((((( B E R S A M B U N G ))))))))))))))))

Minggu, 01 Mei 2011

Pentas Perdana IPASS

Pentas perdana warga baru Ikatan Pemerhati Seni dan Sastra (IPASS-SUL-SEL) Kembali mementaskan karya yang berupa Tari,Puisi,Musik,Banyolan,dan Teater.Pementasan yang semuanya dimainkan oleh warga baru IPASS angkatan VII ini dihadiri oleh pekerja seni se kota makassar dan beberapa anggota dewan yang sempat meluangkan waktunya untuk menonton pertunjukan kesenian.
Pementasan yang bisa dikatakan sukses ini tidak lepas dari para senior IPASS yang mendampingi setiap tim yang akan mentas dengan persiapan dan latihan selama empat bulan,selain itu ada faktor pendukung yang membuat pementasan berjalan lancar adalah para crew yang selalu siap dalam mempersiapkan segala kebutuhan pementasan.
Karya yang dipentaskan adalah karya murni dari warga IPASS kecuali tari yang merupakan tari kreasi nusantara''tari panen''.
Untuk semua yang mendukung hingga pementasan IPASS seluruh warga dan pengurus mengucakan terima kasih.