“Ku tunggu kedatanganmu di patung bambu runcing”.
Yah, seperti itulah pesan singkat di ponselku yang aku kirim ke salah
satu kontak ponselku. Ia tengah melaksanakan KKN (kuliah kerja nyata) di
Pangkep, salah satu kota di Sulawesi Selatan yang terkenal dengan ikan
bolu/bandengnya.
Aku berada di Pangkep kebetulan punya jadwal
melatih TARI anak SMA Perawatan Pangkep. Karena posko tempat KKNnya
berada tidak jauh dari lokasi tempatku melatih, aku menyempatkan tuk
janjian bertemu di Patung Bambu Runcing yang sangat terkenal di kota
Pangkep.
Di samping patung itu, ada sebuah danau
yang begitu indah dan bersih. Di sana aku duduk menunggunya sehabis
melatih. Hampir di sepanjang danau terdapat banyak gerobak jajanan
kuliner khas Pangkep. Sangat cocok di singgahi buat para penongkrong.
Rencana aku akan mengajaknya menikmati coto pangkep di tepi danau.
Tapi …
Tapi sudah satu jam aku menunggunya. 6 SMS yang aku kirim ke ponselnya.
Dan harusnya sekarang ia sudah sampai karena lokasi KKN-nya dekat dari
sini. Telponku juga nggak di terima. Ah, mungkin ia sudah di jalan. Mmm …
aku akan menunggunya setengah jam lagi.
“nunggu siapa
sih ?” Tanya sahabatku yang lagi duduk nyantai di atas motor di tepi
jalan dekat danau. Aku yang lagi duduk menikmati suasana danau segera
balik belakang menjawab pertanyaannya.
“ada deh. Hehehe
he he … tunggu yah 15 menit lagi. Please ?” pintaku dengan wajah manja
karna aku yakin Amal akan menuruti segala kemauanku.
Amal memang ada hati denganku, tapi seiring waktu dan keakraban yang
semakin terjalin maka aku hanya mengganggapnya sebagai “sahabat”. Dan
memang lebih cocok dengan kata itu.
“oke deh”. Jawabnya dengan tersenyum.
Sepanjang
danau begitu sedap di pandang mata. Tak ada satu pun sampah yang
kulihat terapung. Jalanan dan tata kota juga terlihat rapi. Jarang
sekali terlihat papan iklan ataupun spanduk-spanduk KAMPANYE di
sepanjang jalannya.
Kembali aku melihat jam di ponselku. Setengah
jam lebih telah berlalu. Sudahlah, aku Akhiri saja penantianku. Aku
segera beranjak menuju salah satu warung di tepi danau. Amal kemudian
menyusulku di belakang. Kuletakkan tas di atas kursi dan segera memesan 2
porsi Coto Pangkep yang rasanya sangat khas di bandingkan Coto Makassar
ataupun Coto Je’neponto.
“kenapa ? nggak jadi datang ?” Tanya amal yang duduk tepat di hadapanku di meja makan.
“iya. Makan yuukkk !! udah laper nih. Kalau nggak cepat di isi
bisa-bisa ngamuk.” Jawabku sambil memandang isi mangkuk. Minum teh
dingin dan aku mulai mencampurkannya penambah rasa. Sedikit kecap, 2
sendok cabe tumis, perasan jeruk dan membelah ketupat yang rasa pandang.
“Wawww…Nikmatnya dunia.” Ucapku pada amal sambil tersenyum.
%^&w6y!!dmakan)
Duh, nggak bisa goyang nih gara-gara kekenyangan.
“habis magrib baru kita balik ke Makassar.” Kata amal yang menuangkan
air minum kedalam gelas kosong yang ada di depanku.
“inikan baru jam 4. Jadi selama menunggu magrib kita kemana donk ?”
tanyaku dengan alis sedikit berkerut . kulihat lagi jam di ponselku.
Masih ada sekitar 2 jam lebih. Amal kembali mikir.
“ayo, kamu ikut saja”
“Kemana sih ?” tanyaku menuju motor terparkir.
“pokoknya kamu ikut saja”. Kata Amal yang mulai menyalakan mesin motornya.
* * *
Wah, keren banget !!!
Sepanjang
jalan terlihat gunung-gunung, tebing-tebing yang berwarna hijau. Semua
berwarna hijau. Betul-betul pemandangan yang luar biasa. Sesekali kita
melawati jalan yang di apik oleh dua tebing, kanan dan kiri berwarna
hijau. Begitu sejuk dan damai batinku melewatinya. Tapi sayang baterei
ponselku lowbhet total, jadinya gak bisa ngeabadikan keindahan ini. Mmm
nyesal nggak di cash sebelum berangkat.
Ah aku tak mau
mengingat dia lagi. Aku akan berusaha menikmati perjalanan setelah
menempuh perjalanan yang lumayan jauh.
Akhirnya aku
sampai di tempat yang tadi dirahasiakan amal. Di depanku nampak bangunan
besar. Ternyata pabrik keramik. Meski aku tak melihat langsung
pembuatan keramik tapi aku bisa lihat bahan dasar dari keramik dan
tempat di perolehnya.
Aku kembali memandang
tebing-tebing tempat galian batu keramik. Tapi sampai kapan yah ? apa
sampai tebing dan gunung-gunung ini rata dengan tanah ? ataukah sampai
gedung-gedung di bumi dipenuhi tembok yang terbuat dari keramik. Tapi,
inilah salah satu penghasil kota Pangkep. Akankah esok masih kutemui
keindahan gunung-gunung dan tebing-tebing hijau ini ? Entahlah … semoga
saja.
Sehabis mengunjungi pabrik keramik , aku juga
singgah di pabrik Semen Tonasa yang sangat terkenal di Indonesia. Aku
hanya sampai di pintu gerbangnya saja, karena truk-truk yang
berlalu-lalang mengundang banyak debu, akhirnya aku memutuskan tuk
beranjak dari pabrik.
Aku puas jalan-jalan hari ini. Dari pabrik aku balik dan pulang ke kota anging mamiri ”Makassar”.
… (tiba di Makassar) …
Aktivitas seharian membuat badanku pegal banget. Saatnya memejamkan
mata. Tapi sebelumnya aku melihat ponselku. Mmm … Sampai sekarang dia
tak membalas SMSku. Akhh ngapain juga aku mengharap sesuatu yang tak
pasti ?
***
Aku menginjakkan lagi kakiku di kota pangkep lagi. Tidak
jauh dari lokasi Kegiatan penamatan siswa-siswi SMA Perawatan Pangkep ,
akan dan amal singgah tuk mengisi kampong tengah. Mmm aku pengen makan
coto Pangkep dulu ah sebelum menonton pertunjukan anak-anak Tariku di
atas panggung.
Sambil menunggu pelayan warung
menyajikan hidangan coto, aku mengambil ponsel yang berada di dalam tas
ranselku. Mulai mengetik pesan singkat kemudian aku mengirimnya. Isinya
seperti ini :
Assalamu Alaikum… dimanaq skrg ?
Kalau gak sibuk, kumohon datang satu jam lagi
di gedung Islamic centre.
Nonton acara penamatan anak SMA Perawatan pangkep
Sekaligus aku pengen ketemu kamu.
…BaLaz…by dhika
***
Sudah satu jam tapi batang hidungnya tak muncul-muncul juga di gedung
yang tak jauh dari posko KKNnya itu… dimana sih dia ? minimal balas ke’
SMSku supaya aku nggak terlalu menunggu. Hmm … udah deh lupain ajha.
Jadi malas ingat dia.
Selesai kegiatan itu aku
melepas kepenatan di Taman Musafir. Duduk nyantai menikmati rindangnya
pepohonan sambil meminum Jus Alfukad. Taman Musafir merupakan juga salah
satu tempat yang sangat terkenal di kota Pangkep. Taman Musafir adalah
tempat peristirahatan di tujukan bagi orang-orang yang sedang melakukan
perjalanan jauh. Karna tempatnya yang lumayan luas, masyarakat pangkep
juga sering menjadikan tempat ini sebagai tempat untuk berdiskusi.
Memperbincangkan tentang kerja, kegiatan, bisnis, atau semacamnyalah.
Sesekali juga nampak sekelompok remaja SMA yang memakai seragam putih
abu-abu, Bercanda dan bermain seusai jam sekolah. Di samping taman
Musafir tersedia kantin yang menyediakan aneka macam jus dan makanan
yang paling cocok di nikmati sambil nyantai-nyantai di Taman Musafir
ini.
Bersandar di sebuah tembok Taman Musafir,
sesekali memejamkan mata. Tugasku di kota ini telah usai. Tak disangka
kalau aku sejauh ini. Hanya untuk mencari uang jajan, aku jauh-jauh
datang dari Makassar sebagai pelatih TARI. Walau telasa lelah tapi ada
kepuasan tersendiri yang aku rasakan. Ternyata begini rasanya jadi anak
mandiri. Mencari penghasilan sendiri. Slama ini tak hentinya aku
menyusahkan orangtua dengan meminta uang jajan lalu belanja sepuasnya.
Tanpa aku sadar betapa susahnya orangtuaku mencari uang. Mmm,,, bawa
oleh-oleh apa yah tuk aku bawa pulang? Mmm …(sambil mikir).
Tiba-tiba ponselku bordering. Sebuah pesan singkat yang berisi :
“Maaf yah, aku gak balas SMSmu.
tadi aku ketiduran
jadi gak sempat ke sana.”
Dengan sedikit rasa kecewa, “aku sebaiknya mengetes dia”. Cuma pengen
tau sebarapa pentingnya aku bagi dia. Aku curiga kalau aku hanya di
jadiin pelariannya dikala sepi menghantuinya… aku kemudian membalas SMS
itu.
“iya gak apa2.
Tanpa banyak alasan aku tunggu kamu
Di Taman Musafir dalam waktu 20 menit
Dari sekarang.”
“amal, tunggu dulu yah ? 20 menit ajha. Please…” pintaku.
“iya adik”. Jawabnya sambil memasang wajah keherangan.
“nggak usah curiga gitu deh. Iya, aku lagi janjian sama seseorang. Nggak lama kok, aku cuma mau ngetes dia.”
5 menit …
10 menit …
“tunggu siapa sih dik ?” tanya Amal.
“ada deh”. Jawabku dengan melihat jam ponselku.
19 menit …
26 menit …
Dan 30 menit tlah berlalu …
“amal, yuk kita cabut dari tempat ini”. Kataku dengan menarik tangan amal.
“Tapi kita kemana ?”
“kemana kek, terserah. Pokoknya tempat yang ada jurangnya.”
“wahhh (terbahak-bahak)… jangan gila dong. Hehehehe…”. Kata amal dengan ekspresi kaget sambil memegang kepalaku.
“yah nggaklah. Emang aku cewek bodoh”.
Kali ini aku dan amal akan mengunjungi LEANG KASSI’. Sepanjang jalan
aku menikmati perbukitan yang ada di sebelah kiri dan persawahan di
sebelah kananku. Sesampainya di lokasi, kolam permandianlah yang
terlebih dahulu di temui sebelum gua Leang Kassi’. Permandian itu
berasal dari mata air di perut gunung dan akar-akar pohon. Cukup jernih
sih dan airnya lumayan dingin. Aku hanya membasuh wajahku dengan air itu
lalu segera naik melintasi batu gunung untuk menuju sebuah gua.
Leang kassi’ berada di kaki perbukitan. Lebar dan tinggi mulut gua
masing-masing 24 meter dan 30 meter. Aku sempat menengok masuk kedalam
gua itu. Sebagian besar lantai gua tertutup oleh bongkahan-bongkahan
batu. Mungkin akibat runtuhnya langi-langit gua.
Karena aku
penakut, dengan terburu-buru aku keluar dari mulut gua Leang Kassi’. Aku
hanya membaca keterangan yang terpajang di sekitar gua Leang Kassi’. Di
situ tertulis “Temuan Arkheologi yang terdapat pada leang ini terdiri
atas lukisan di dinding gua, artefak batu berupa alat batu serpih, bilah
& tatal, serta sampah dapur berupa cangkang Mollusca dan anthropoda
serta tulang binatang”.
Hmmm pengen masuk sih tapi di
dalam menyaramkan bagiku. Aku kemudian memanjat batu gunung yang tidak
terlalu terjal di sampang kiri dari pintu masuk gua. Sesekali Amal
teriak tuk memperingati aku agar berhati-hati… aku tersenyum pada amal
dan mulai mengukir 5 huruf pada dinding tebing.
Aku mengukir huruf I R J A N
“siapa dia ?”. tanya amal.
Irjan.
Anak jurusan Matematika di kampus. Meski kami seangkatan tapi di kampus
kami beda jurusan. Yah, dialah rinduku yang tak kutemui di kota ini.
Namanya ku ukir hanya tuk mengabadikan seenggok kerinduan. Mungkin saja
esok ukiran itu akan berlumut, dan semoga saja tertutup. Sehingga aku
tak lagi menanti rindu sampai menemui muaranya.
Maaf, aku
mengukir namamu. Mungkin ku salah namun rinduku padamu adalah sebuah
kebenaran yang tulus. Meski aku tak pernah tau, ada tidaknya keberadaan
rindu itu di hatimu. Meski ku tak pernah tau, kau merindukan siapa.
Maaf,
aku mengukir namamu pada biasan langit. Mungkin kusalah tapi rinduku
adalah sebuah kekuatan sekaligus penyiksaan. Rindu yang terdiam seperti
keinginan memetik bintang namun aku tak punya tangga setinggi langit.
Maaf,
aku mengukir namamu pada desah angin. Mungkin kusalah tapi rinduku
adalah gemuruh yang terkungkung dalam ruang kosong. Memporandakan
pikiran dan tanpa sadar semua ruang telah terpenuhi oleh bayangmu.
Sekali lagi, MAAF AKU MENGUKIR NAMAMU …
Makassar, 17 Agustus 2011