Jumat, 18 Februari 2011

Penantian di Pesisir Pantai

Penantian di Pesisir Pantai ((((Karya : Andhika Fajar)))

oleh Dhika  pada 01 November 2010 jam 17:00
“Kak, di mesjid lagi azan magrib nih ! berdoa yuk ?” tanya ulfa yang selalu jadi pendengar dari  smua keluh kesahku. Salah satu Juniorku di kampus. Berdoa setiap mendengar azan merupakan kebiasaan konyol kami berdua. Kami selau berpikir kalau tiba waktunya sholat, malaikat pasti mondar-mandir. Siapa tau malaikat lewat pada saat kita berdoa dan bisa mengaburkan doa kita. Harus di akui sih ini agak kekanak-kanakan dan merupakan suatu kekonyolan, tapi apa ruginya kalau kita berdoa.

            Bersamaan dengan azan di mesjid, aku dan Ulfa pun memejamkan mata lalu berdoa di dalam hati masing-masing.

“Tuhan, jika Engkau mengizinkan, aku ingin malam ini dia ada di sampingku sebelum orang rumah datang menjemputku. Berbincang-bincang dengannya untuk pertama kali. Karena kami hanya sering bertatap mata tapi tak pernah saling menyapa. Ku mohon tuhan, Amin…”. Ucapku dalam hati yang pada saat itu aku dan Ulfa lagi duduk-duduk santai di depan perpustakaan kampus.

            10 Menit kemudian, dari kejauhan datanglah dari belakang sosok kekasih hati yang aku maksud. Namanya Lembayung, anak ekonomi semester 6. Ia berjalan mendekati kami dan duduk di samping Ulfa. Entah kenapa, detak jantung ini tiba-tiba berdetak begitu kencang. Aku hanya diam sambil mengendalikan perasaan yang berkecamuk ini. Ingin menyapa tapi rasanya begitu sulit bibir tuk berucap. Ia hanya ngobrol dengan Ulfa.

            Tidak lama kemudian, Ulfa mendapat telpon dari rumahnya dan segera pamit untuk pulang. Meski sempat aku menahannya tapi ia tetap mau pulang. Ia hanya berpesan pada lelaki berambut agak gondrong yang ada disampingku itu,

 “bisa tidak aku minta tolong tuk temani k’hika sampai penjemputnya datang ? aku ada urusan penting di luar.”… Pinta Ulfa yang sudah berada di atas motornya.

            Lembayung hanya menganggukkan kepalanya, tanda setuju. Setelah Ulfa pergi, 2 menit sunyi singgah diantara kita. Aku tak tahu harus bicara apa dengan lelaki yang hoby bermain Harmonika itu.  Tapi baru saja aku ingin bersuara, dia sudah mendahuluiku. Meski kadang Tanya dan jawabku terdengar gugup tapi aku berusaha atasi. Karena dari dulu aku selalu gugup kalau ada seorang kaum hawa, lelaki, pemuda, ataupun pria di dekatku. Entahlah, kuharap ini bukan penyakit ataupun tauma.
Tidak kusangka kalau aku bisa ngombrol dengannya begitu lama dan kami pun mulai akrab. Serasa tak ingin malam ini cepat berlalu, aku masih ingin di sampingnya. Sebelum penjemputku datang jam 9 malam, ada kalimat yang sempat ia ucapkan padaku malam itu. Katanya, “tidak kusangka kalau ternyata kamu cerewet, penilaianku slama ini kalau kamu itu orangnya  pendiam. Makanya aku selalu takut tuk menyapamu”.

            Tiba di rumah, kurebahkan tubuhku pada kasur empuk di kamar. Memejamkan mata dan membayangkan tatapan matanya saat berbicara, suaranya yang khas masih menggema di telingaku, dan sontak aku teringat pada doaku saat azan magrib tadi.

                                                                        ***
            Sembari istirahat di kamar, aku main Facebook di Internet. Aku ngombol-ngobrol dengan Seniorku di kampus Unismuh namanya kak Black. Aku juga pernah curhat ke dia tentang Lembayung.

“masikah hatimu berselimut mendung, wahai kekasih?”. Tanya lelaki yang hitam, kurus, dan beramput kriting.
“masih, tapi tak semendung yg dulu. Ia sudah mulai memberiku cahaya walau terkadang redup di mataku. Apa lebih baik jika kupendam saja ? karna kurasa sangat sulit. Tapi mudah-mudahan, ia masih mencoba tuk berikan cahaya yang lebih terang lagi.” jawabku
“ha... di balik gelap ada terang yang menanti dinda, maka untuk menikmati cahaya haruslah kita menaklukkan gelap.”
“bagaimana mungkin aku menaklukan gelap ? sedang yang ku punya hanya segaris senyum ? tak ada yg lain”.
“segaris senyum dapat menakklukan dunia. Kau tak perlu angkat senjata untuk membuat dunia hancur tapi cukup dengan sekali senyum saja. Maaf, saya tidak melebihkan. Cuma saya pecinta senyum.”
“ohh,,, okey. aku tidak akan pernah berhenti tuk tersenyum.”
“begitu, jangan ragu untuk tersenyum, dan senyummu adalah senjatamu. ? Tapi mengapa kau tak pernah ingin menengok hatiku?.”
“aku ingin slalu menengok hatimu dan memasuki tiap ruang didalamnya... Itu kalau seandainya kita dipertemukan jauh sebelum saya menancapkan hatiku pada seseorang.”
“ha.. penambatan hati adalah salah satu bentuk penghambaan terhadap seorang yang kita cinta, padahal cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang membebaskan.”
“jujur, Aku juga mencintaimu. Bukankah kita sebagai manusia harus saling mencintai ? Aku mencintai kepribadianmu.”
“cukup itu membuatku tambah mencintaimu, cinta adalah sesuatu yang suci maka mari kita merawatnya bersama-sama.”

***

Selesai kuliah aku menepi pada sudut kampus. Duduk sendiri sambil mencari kerinduanku yang belum jua kutemukan. Sudah 3 hari aku tak bertemu lembayung. Tuhan, Dimana aku bisa menemukan sosoknya ?
Terdengarlah  azan azhar. Aku kemudian memejamkan mata dan berdoa “Tuhan, Melihatnya saja itu sudah cukup buatku. Adakah obat penawar dari rindu ini ? sudah 3 hari aku tak melihatnya”. Ketika kubuka perlahan mataku, orang pertama yang kulihat adalah sosok Lembayung. Benar-benar kuasa tuhan, sungguh menakjubkan. Aku melihat dari kejauhan lembayung sedang menyebrang jalan, entah mau kemana.

“Thanks God”…

* * *

Pernahkah kau mendengar cerita tentang seorang perempuan yang berdiri di tepi pelabuhan menunggu kekasihnya datang berlayar ? pernahkah kau melihat seorang ibu-ibu tua yang menunggu suaminya datang mencari ikan di laut ?  atau pernahkah kau menyaksikan seekor merpati betina yang sedang menanti pasangannya tiba di hadapnya ? melihat tanah kering, tandus, dan retak-retak, yang menunggu air dari langit ? meski itu hanya air mata langit.

            Aku seperti ada diantara rentetan kisah itu.

            Di pesisir pantai ini, sebuah penantian telah kutancap bagai tangkai yang berharap tuk dapat tumbuh dan bersemi. Ratusan senja telah kulalui. Ratusan malam pun kulewati dengan memandang mimpi-mimpi yang meranggas pada pucuk cahaya sore. Warna yang jatuh sinari tubuhku. Warna jingga melukis kulitku yang makin merona. Aku kira sinar ini akan membakarku sampai kedasar hati, tapi ternyata warna inilah yang justru temani sepiku yang mengendap selama penantian.

            Aku sedang menanti kekasih yang telah berjanji untuk datang menemuiku. Membawa seberkas jawaban cinta seperti janjinya di taman tempo hari.


            Hari ini genap 22 tahun usiaku…
            Aku yakin hari ini dia akan datang dan membawa kado terindah untukku. Bukan karena aku kepedean, tapi dia beriku angan-angan & keyakinan atas kado yang terbungkus rapi. Kado penantian yang telah lama kutunggu sejak 6 bulan yang lalu. Yah, seperti janjinya bahwa ia akan datang menggenggam tanganku dan menarikku kedalam hatinya.

            Aku setia menunggunya, setia …

            Meski kadang air mataku tlah lelah tuk menunggu. Meski keyakinanku kadang terombang-ambing bersama senyum manisnnya pada bidadari-bidadari cantik di jalan. Walau syair-syair cinta yang dia lantungkan tak diperuntukkan untukku, aku pun tetap setia menunggunya. Bahkan, aku menutup mata dan hatiku untuk orang lain.

            Aku yakin dia akan datang. Kalau perlu aku akan menunggu sampai seribu tahun lamanya. Karena aku yakin dia akan datang menepati janjinya. Janji yang ia ucapkan di bawah lampu temaram. Janji yang telah ia umbar pada daun-daun  malam, pada bayangan rembulan di tepi jalan, pada mentari yang tersipu malu pada embun.

            Bahagiaku mulai meninggi karenanya. Rasaku sejuta telah kulebur bersama bayangnya. Tatapan mata dan senyumnya tak jua sirnakan harapan yang baru saja belajar tuk terbang tinggi, menggapai cinta sejati di ujung langit.

            Malam itu di tepi tanjung bayang, di saksikan oleh bulan, bintang, ombak, karang dilautan dan angin adalah dinginku. Dia datang bersama kekasihnya lalu menancapkan anak panah di jantungku. Anak panah yang tak pernah terlintas olehku… terlebih lagi, kekasihnya itu adalah sahabatku yang dengan mudahnya meruntuhkan dinding kecil dihatiku, mengirimkan hujan di mataku yang pasti akan membasahi harapanku.

Begitu perih rasanya, perih …

“Apakah itu kado terindah yang kau janjikan selama ini ?”

Harapan itu kini berceceran seperti darah segar yang baru saja di sembelih dengan janji-janji  kepalsuan. Meruak bagai lahar panas yang dipenuhi kekecewaan dan penghianatan.

Aku tahu “Cinta tak selamanya harus memiliki“. Tapi haruskah kau menyiksaku seperti ini ? memberikan harapan kosong, janji-janji palsu, lantas menenggelamkan aku dalam perasaan yang tiada bertepi ? Aku ingin bertanya padamu, apa kau kira enak rasanya menunggu ? slama ini aku menunggumu dengan penuh kesabaran. Meski segalanya tak tentu pasti tapi aku tetap menunggumu. Karna kau telah berjanji akan datang menggenggam tanganku.

Jika esok aku tak mampu memarahimu atau menangih janji itu, aku hanya ingin kau tau bahwa “Aku bahagia atas getar hati yang pernah kurasakan dulu saat kau di dekatku”…

* * *

“Hujan sore ini indah… ada pelangi, petir juga hadir.” Ucapan terakhir Lembayung  padaku.


Makassar, 20 Mei – 23 Sept 2010



Tidak ada komentar:

Posting Komentar